Setiap tahun, tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Seragam kebaya, lomba-lomba bertema perempuan, hingga dekorasi bernuansa tradisional mewarnai berbagai instansi, sekolah, hingga pusat perbelanjaan. Namun di balik semarak perayaannya, masyarakat sering kali lupa bertanya: apa sebetulnya esensi dari peringatan Hari Kartini?
Raden Ajeng Kartini adalah simbol perubahan, seorang perempuan muda dari Jepara yang berani menentang batas sosial zamannya. Melalui surat-suratnya yang kelak dibukukan, Kartini menyuarakan keresahan, harapan, dan cita-cita besar: perempuan harus bisa berpikir bebas, belajar, dan berdiri sejajar dengan laki-laki dalam hal martabat dan kesempatan.
Sebagaimana Kartini yang tidak menerima begitu saja norma dan tradisi yang mengekang perempuan. Ia mempertanyakan, merenung, dan mencari jalan keluar. Perempuan masa kini wajib memiliki keberanian untuk bertanya, mengkritisi, dan tidak mudah terjebak dalam ekspektasi sosial yang merugikan. Semangat ini perlu terus hidup, terutama bagi perempuan kota yang kerap dihadapkan pada tekanan sosial media, budaya konsumtif, dan standar hidup yang tidak realistis.
Di sisi lain, peran masyarakat sipil juga menjadi krusial. Bukan hanya pemerintah atau lembaga formal, tetapi warga melalui komunitas, organisasi lokal, hingga lingkar pertemanan dapat menjadi agen perubahan. Membuka ruang aman untuk perempuan berbicara, memberikan pelatihan wirausaha, menciptakan akses informasi yang merata, serta memperjuangkan kebijakan yang lebih inklusif adalah bentuk perayaan Hari Kartini yang jauh lebih bermakna daripada sekadar memakai kebaya sehari.
Esensi Hari Kartini bukan soal nostalgia, melainkan refleksi: apakah kita sudah benar-benar menciptakan ruang yang adil bagi perempuan untuk tumbuh dan berkontribusi? Apakah kita masih menilai perempuan dari pakaian, status menikah, atau penampilan fisik, atau sudah mulai menghargai ide, keberanian, dan kapasitasnya?
Perayaan Hari Kartini semestinya menjadi momen untuk menghidupkan kembali nilai-nilai perjuangan beliau dalam bentuk yang kontekstual—bukan sekadar simbolik. Karena sebagaimana Kartini menuliskan, “Bukan apa yang kita katakan, tapi apa yang kita lakukan, itulah yang menjadi ukuran nilai kita.” (-cn)
Berita Populer
by Administrator | 17 Feb 2020
by Administrator | 17 Feb 2020
by Administrator | 17 Feb 2020
by Administrator | 17 Feb 2020
by Administrator | 17 Feb 2020
by Administrator | 17 Feb 2020